Hukum Berkumur, Memasukan Air ke Hidung, dan Menyikat Gigi Bagi Orang Berpuasa

Tue, 14 June 2016 09:56

Berkumur-kumur dan beristinsyaq (memasukkan air ke hidung) dalam berwudhu dinyatakan sebagai sunah dalam pandangan mazhab tiga orang iman, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i. Namun ada juga yang menganggapnya wajib sebagaimana mazhab Imam Ahmad. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, berkumur dan beristinsyaq hendaknya jangan ditinggalkan baik ketika berpuasa maupun tidak. Hanya saja, janganlah dilakukan secara berlebihan pada saat puasa.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda : “Apabila engkau beristinsyaq, maka bersungguh-sungguhlah kecuali jika engkau sedang berpuasa.” (HR Syafi’i, Ahmad, Imam yang Empat, dan Baihaqi).

Apabila orang yang berpuasa itu berkumur-kumur dan beristinsyaq saat berwudhu, lalu airnya masuk ke tenggorokannya tanpa sengaja maupun tanpa berlebihan, maka puasanya tetap sah karena termasuk unsur ketidaksengajaan. Demikian jika seseorang berkumur-kumur di luar wudhu saat berpuasa, maka puasanya tetap sah asalkan airnya tidak masuk ke dalam perut dan tidak dilakukan secara berlebihan.

Sedangkan mengenai menyikat gigi, diriwayatkan dari seorang sahabat, Amir bin Rabi’ah berkata : “Saya melihat Nabi saw bersiwak hingga tidak dapat dihitung (karena seringnya) padahal beliau berpuasa.” (HR Bukhari, Abu Daud, dan Tirmidzi).

Dengan demikian menggosok gigi atau bersiwak pada saat berpuasa hukumnya mustahab (pengertiannya menyerupai sunah) pada sembarang waktu. Bersiwak sendiri merupakan sunah yang dipesankan Rasulullah saw dalam sabdanya : “Menggosok gigi itu membersihkan mulut dan menyenangkan Rabb.” (HR Bukhari). Tidak dijelaskan mengenai perbedaan apakah bersiwak itu dilakukan ketika berpuasa atau tidak. Namun tetap disarankan untuk berhati-hati ketika bersiwak menggunakan pasta gigi supaya tidak tertelan. Karena sebagian besar ulama menganggap bahwa hal tersebut dapat membatalkan puasa. Oleh sebab itu bersiwak menggunakan pasta gigi lebih baik dilakukan sebelum terbit fajar atau sesudah terbenam matahari. Wallahu a’lam.

Sumber:
Qardhawi, Yusuf. 1996. Fatwa-Fatwa Kontemporer jilid 1. Gema Insani Press. Jakarta

Inspirasi Lainnya
Inspirasi Populer